Thursday, 19 February 2015

Membuat Cerpen



Halohaaaaa :D
Apa kabar nihh
Oya ngomong-ngomong hari ini tanggal merah kan? Terus ada apa dengan tanggal merah hari ini? Itu artinya sekolah libur men *yaiyalahorangtanggalmerah (abaikan) :p
Hari ini Hari Raya Imlek 2566 guys, diantara kalian siapa yang ngerayain?
Nah yang ngerayain jangan lupa bagi dodol ranjang nya ya, hahaha *becanda

Bytheway anyway busway, mau ngepost apa yah? Ada yang punya ide gak? :D -------
*ahaaaaaa
Gini deh, aku mau ngepost
cerpen yang udah aku buat. Jelek sih, tapi gakpapalah ya. :D
#Cerita dikit
Jadi cerpen ini merupakan salah satu tugas aku waktu aku baru masuk ke kelas XI Semester 1.
Aslinya sih Buguru meminta dengan tema “Kewirausahaan” tapi barangkali pikiran murid-murid itu stress gara-gara disuruh mengangkat tema “kewirausaan” jadi BuGuru ngasih tema BEBAS, asalkan itu buatan sendiri, nggak ngadopsi dari berbagai sumber *anakkaliyadiadopsi.
Nah di cerpen aku, aku sebenarnya mengangkat tema “persahabatan” tapi sedikit ada “percintaan”nya. Penasaran?? Yaudah langsung aja deh Cekidot…





SEUTAS IKATAN MANIS
Kata terindah yang pernah aku dengar selain cinta. Bukankah semua tahu, jika persahabatan itu seindah cinta? Karena akan selalu ada cinta diantara persahabatan. Sama halnya dengan persahabatan Sinta, Vita, Affan, dan Adit. Persahabatan pada masa putih abu-abu yang terjalin karena adanya cinta diantara mereka. Tidak bisa dipungkiri, persahabatan yang terjalin sejak mereka duduk di bangku SMP membuat mereka selalu bersama, mengerti, memahami dan membantu satu sama lain. Hingga seluruh sekolah pun tahu mengenai ikatan yang terjalin diantara mereka berempat. Iya, ikatan manis yang dinamakan persahabatan.
Suatu hari di SMA Perdamaian, mereka berempat sedang membaca di perpustakaan sekolah. Di tengah-tengah asyiknya membaca buku, tiba-tiba terdengar bunyi “kruyuuuk....” yang  mengalihkan perhatian mereka semua.
“Itu bunyi perut kamu, Fan?” Tanya Sinta
“Hehehe. Iya nih, perutnya nggak bisa diajak kompromi” jawab Affan
Mendengar jawaban Affan, membuat tawa mereka pecah. Tersadar mereka sedang berada di perpustakaan, segera mungkin mereka menutup mulut masing-masing. Tetap menahan tawa.
“Ah, bilang aja kamu laper. Yaudah kita ke kantin yuk?.”Ajak Vita cengar-cengir.
“Yuuuk.” Jawab Sinta, Affan, Adit kompak, seraya bangkit dari kursi perpustakaan.
***
Mengikuti  rentetan jadwal pelajaran yang benar-benar melelahkan, membuat semua siswa SMA Perdamaian sontak bersorak-ria ketika bel tanda berakhirnya pelajaran bergema ke segala sudut sekolah. Memberitahu pada semua untuk bergegas segera meninggalkan kelas dan melanjutkan aktivitas lain yang telah menunggu.
“Sin, aku antar pulang ya? Adit kan tadi bilang mau nyari buku buat bahan tugas kelompok bareng Vita.” Kata Affan ketika Sinta hendak beranjak dari bangkunya.
“Yakin? Rumah aku jauh loh, lagian kita kan beda arah.” Tanya Sinta heran.
“Sekali-sekali dong. Aku kan nggak pernah nganterin kamu pulang sejak kamu pindah rumah.” Affan beralasan.
“Boleh deh. Lumayan juga buat ngirit ongkos. Ayo, Fan” Balas Sinta tersenyum manis ke Affan.
***
“Yap. Sampe dengan selamat.” Ucap Affan menghentikan motornya tepat di depan rumah Sinta.
 “Makasih banyak ya, Fan. Sampai ketemu besok.” Ucap Sinta melambaikan tangan setelah turun dari motor Affan.
“Aku nggak boleh mampir nih? Oh gitu. Iya deh.”
“Oopss, Aku kira kamu buru-buru.”balas Sinta dengan wajah menyesal. “Habisnya kamu tadi bilang mau main basket jam 4. Kan sekarang udah jam setengah 4. Jadi, ya aku kira…” ucap Sinta merasa bersalah.
“Kamu kira aku mau langsung pergi?” jawab Affan dengan sedikit tertawa. “Udah, jangan cemberut gitu, jelek tahu.” Goda Affan. “Aduh, tenggorokan aku kering nih.” Affan tetap menggoda dengan memegang tenggorokan sambil menahan tawanya agar tidak pecah.
“Oh iya. Sebentar, sebentar aku ambilkan minum.” Sinta tiba-tiba panik menyadari bahwa ia lupa menawarkan Affan minum setelah 40 menit perjalanan dalam rangka mengantarnya pulang. “Eitss, tunggu. Kamu mau minum apa, Fan?” Sinta yang hampir di ambang pintu berbalik menghampiri Affan kembali. Melihat tingkah Sinta yang kebingungan membuat Affan tersenyum tipis dan turun, berdiri di samping motornya. “Mau yang dingin atau nggak? Air putih, jus, sirup, es teh atau……” kata-kata Sinta terhenti.
Setelah beberapa menit, Sinta tersadar bahwa yang tiba-tiba meraih tangannya dan langsung menariknya kedalam pelukannya adalah Affan. Sinta tak sepenuhnya sadar apa saja yang telah terjadi beberapa menit lalu. Namun, Sinta samar mendengar bisikan Affan yang mengatakan “Aku sayang kamu, Sinta Restiana Riski.” tepat di telinga kanannya.
“A.. A.. Affan..” ucap Sinta kalut.
Affan memandang wajah Sinta yang penuh kebingungan, tersenyum lalu berkata “Kamu nggak salah dengar, Sin.” ucap Affan menjawab kebingungan diwajah Sinta. Mendengar perkataan Affan, Sinta hanya memandang Affan dengan penuh tanda tanya. “Masuklah, kamu pasti capek. Aku pulang dulu. Sampai bertemu besok di sekolah.”
Kata-kata dan senyum Affan berotasi begitu saja di kepala Sinta. Sinta terdiam memandang kepergiaan Affan, hingga Affan menghilang dalam pandangannya Sinta masih berdiri terdiam di depan rumahnya.
***
Keesokan paginya di sekolah.
“Adit, kemarin koq nggak ke rumah aku? Katanya mau ambil komik. Tadi juga kenapa nggak bilang kalo kamu nggak bisa berangkat bareng aku? Aku kan nungguin” tanya Sinta setelah melihat Adit ternyata sampai di sekolah lebih dulu. “Adit. Adit. Adit Natharyan” teriak Sinta, geram karena tidak di tanggapi oleh Adit. “Adit kamu kenapa sih? Kamu marah sama aku? Kenapa?” ucap Sinta ketika Adit menoleh, memandang ke arahnya tetap tak berkata. Lalu Adit berdiri tepat di hadapan Sinta, menatapnya lalu pergi meninggalkan kelas, melewati Sinta tanpa sepatah kata terucap dari mulutnya.
Affan yang melihat semua yang terjadi antara Sinta dan Adit, hanya berdiri diam di pintu kelas. Menelisik apa yang sebenarnya sudah terjadi, sepertinya Affan tau masalah yang sebenarnya. Tapi Sinta memandang ke arah Affan, memberitahu jika ia tak mengerti apa yang terjadi pada Adit dengan raut wajah muram dan sedih.
“Fan, Adit kenapa sih?” tanya Vita yang baru saja masuk ke kelas sehabis dari toilet, Vita bingung melihat Adit terlihat sangat marah ketika keluar dari kelas. “Loh, Sin? Kamu…”. “Fan, kamu? Kalian berdua kenapa sih?” Affan masih tetap berdiri dan diam melihat Sinta terduduk lemas. Dan Vita masih bertaut dengan kebingungan yang dimilikinya. “Sin, ada apa?” Vita menghampiri Sinta dan duduk disebelahnya, meninggalkan Affan yang tetap berdiri di pintu kelas dalam diam. Semua penghuni kelas bertanya-tanya, ini pertama kalinya mereka berempat bertengkar. Sepertinya hal yang besar telah terjadi, pikir mereka.
“Aku nggak tau, Vit. Aku cuma tanya ke Adit, kenapa dia kemarin nggak ambil komik di rumah aku? Kenapa hari ini dia juga nggak bilang kalo dia nggak bisa berangkat bareng aku? Aku cuma tanya aja. Aku nggak tau kalo dia akan marah. Aku harus gimana, Vit? Adit nggak mau bicara sama aku.” Tiba-tiba air mata Sinta menetes sembari berkata.
“Udah, Sin. Jangan sedih dong, cuma salah paham koq. Kemarin mungkin Adit capek, kan kamu tau dia habis nyari buku sama aku. Terus tadi pagi dia berangkat bareng aku. Aku kira dia udah bilang kamu. Maaf ya, Sin. Aku yang salah, nggak kasih tau kamu.” Ucap Vita menenangkan.
Setelah Sinta sedikit tenang karena penjelasan Vita, Vita menatap ke arah Affan yang tetap ditempatnya tanpa bergerak sedikit pun, tersenyum sebagai tanda bahwa Sinta baik-baik saja, karena Vita tau jika Affan mengkhawatirkan Sinta. Affan mengangguk melihat senyum Vita, lalu berbalik keluar kelas menemui Adit. Mengapa hati aku begitu sakit melihat kamu begitu mengkhawatirkan Sinta, Fan? Arrghh… Vita! Affan itu mengkhawatirkan persahabatan kita. Please, nggak usah berpikir yang nggak-nggak. Vita bersiteru dengan dirinya sendiri.
***
Affan benar-benar terkejut, bingung dan tertegun melihat Sinta begitu sedih hingga menangis karena Adit. Dia ingin sekali bertanya tapi dia tak kuasa. Dia nggak mampu melihat cewek yang dia sayang menangis didepan matanya karena cowok lain, terlebih lagi cowok itu sahabat terbaiknya.
Keluarnya Affan dari kelas, membuat pikiran Affan semakin rumit. Affan hanya tau harus bertemu dengan Adit. Adit harus menyelesaikan masalahnya dengan Sinta. Adit harus membuat Sinta tersenyum lagi.
“Adit!!!” belum sepenuhnya Adit menoleh ke arah Affan, Adit langsung terlempar jatuh ke lantai karena pukulan Affan yang mendarat tepat di wajahnya.
Adit yang terkejut mendapat pukulan dari Affan langsung menyulut emosinya hingga berdiri menjatuhkan Affan ke lantai lalu memukuli Affan berkali-kali tanpa perlawanan dari Affan. Semua siswa lain yang melihat ingin mencoba melerai mereka, namun Affan memberikan kode kepada siswa lain untuk tidak melakukan apapun. Mereka menurut dan hanya melihatnya saja tanpa ada yang melerai, tanpa ada yang memanggil guru dan tanpa ada yang berteriak. Sepertinya mereka semua mengerti maksud Affan.
Lelah memukuli Affan, akhirnya Adit berhenti. “Sudah puas, Dit?” tanya Affan kepada Adit. Setelah sadar keadaan telah tenang, semua siswa akhirnya bubar meninggalkan mereka berdua.
“Lu sadar? Apa yang udah lu lakuin ke Sinta? Gue tau, lu marah sama gue gara-gara gue meluk Sinta kemarin kan?” mendengar kata-kata Affan, Adit terkejut dan melepaskan tangannya yang masih mencengkram seragam Affan. Melihat reaksi Adit, Affan tersenyum. “Gue bener kan? Gue tau karena gue liat lu di kompleks rumah Sinta. Tapi lu nggak nyamperin dia meski gue udah pergi yang sebenarnya gue juga nggak pergi. Gue ingin tau apa yang bakal lu lakuin. Tapi pada akhirnya lu hanya memandang Sinta dari kejauhan.” Adit masih terdiam.
“Lu sayang Sinta, Dit?” Adit menatap Affan karena pertanyaan yang Affan ajukan. Lalu Affan tersenyum “Gue juga sayang Sinta, Dit. Gue yakin lu udah tau itu. Tapi gue yakin lu nggak tau kalo yang Sinta sayang itu bukan gue.”
“Maksud lu?” Adit menjawab dengan nada penasaran.
“Ah, lu. Sok-sok-an pura-pura nggak tau.” Jawab Affan dengan candanya.
“Fan, gue serius nih. Emang siapa sih yang Sinta sayang?.”
“Iya. Iya. Gue tau lu serius koq. Nih, buktinya muka gue babak belur saking seriusnya lu mukulin gue.” Ucap Affan dengan memelas.
“Yaelah, abise lu. Ngapain coba mukul gue duluan.” Jawab Adit beralasan.
“Lu kalo nggak kaya gini. Nggak akan bisa diajak bicara baik-baik kali.”
“Sialan lu, hahaha” akhirnya emosi Adit mereda. “Eh, lu belum jawab pertanyaan gue, Fan.”
“Pertanyaan yang mana?” jawab Affan pura-pura nggak inget.
“Itu loh. Tentang Sinta.”
“Sinta? Tuh, dia di kelas nangisin lu. Lagi di tenangin sama Vita. Sana lu samperin.”
“Hah? Sinta nangis? Gara-gara gue? Koq bisa?” Tanya Adit panik juga kaget.
“Lu keterlaluan sih, cewek itu nggak bisa di kasarin dikit, Dit. Sana gih, samperin.”
“Iya deh. Gue ngaku salah. Maaf juga, Fan. Gue buat lu bonyok gitu.”
“Udah. Cowok bonyok gini udah biasa koq. Sana ! Samperin Sinta. Kasihan dia tuh.”
“hehehe. Okeh deh. Gue samperin Sinta ke kelas dulu ya, Fan.”
“Sip. Jangan lu buat nangis lagi tuh dia. Awas lu.”
“Tenang. Santai, men.” Adit pun pergi meninggalkan Affan yang duduk di bangku selasar sekolah dengan penuh luka.
Affan hanya menatap kosong kepergian Adit. Sinta sayang lu, Dit. Bukan gue yang Sinta sayang, tapi lu. Gue mau ngeliat Sinta bahagia, dan bahagianya Sinta bukan sama gue tapi lu. Affan hanya bergumam dalam hati atas kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya.
“Affan.”
“Eh, Vita. Aku kira siapa.” Sapaan Vita mengagetkan lamunan Affan. “Koq kamu disini? Sinta udah benar-benar tenang?”
Kenapa harus Sinta lagi, Fan? Apa aku nggak begitu penting buat kamu khawatirkan?
“Vit, kamu kenapa? kamu habis nangis? Siapa yang udah bikin kamu nangis? Berani banget bikin sahabat baik aku ini nangis. Biar aku hajar dia.” Ucap Affan geram sembari mencoba menenangkan Vita.
“Nggak, Fan. Aku cuma sedih aja.” ucap Vita menenangkan diri namun yang terjadi air matanya semakin menetes. Kamu, Fan. Kamu cowok yang ngebuat aku nangis begini.
“Masalah tadi ya. Udah. Jangan dipikirkan lagi. Udah selesai koq. Senyum dong.” Ucap Affan sembari mengusap air mata Vita.
“Kamu terlihat berantakan banget, Fan.” Vita tersenyum mengatakan kalimat tadi. “Sini biar aku obatin, aku ambil obat di UKS tadi.”
“Nggak perlu koq. Cuma luka kecil, besok juga sembuh.”
“Udah. Sini aku obatin. Jangan berisik deh.”
Tiba-tiba Affan tersenyum “Makasih banyak ya, Vit.”
Vita yang sedang mengobati luka diwajah Affan terdiam sesaat dan langsung berdiri. “Nih, kamu lanjutin sendiri. Aku mau ke kelas dulu.”
“Loh Vit, tanggung nih.”
“Bodo.” Vita tetap meninggalkan Affan tanpa menoleh.
“Vit, tunggu dong. Bareng napa?” sembari mengejar Vita yang berjalan begitu cepat.
“Kamu kalo dipandang dari dekat cantiknya keliatan ya, Vit.” Canda Affan.
“Apa’an sih, Fan? Aku lagi nggak ada uang receh nih.” Balas Vita.
“Serius nih, aku sih cuma mau ngasih tau kamu aja, apa yang aku lihat. Kamu tuh cantik tau.” Goda Affan yang langsung kabur setelah berhasil memukul kening Vita dengan lembut.
“Affan!!! Awas ya. Aku bales, kamu.” Vita pun langsung ikut lari mengejar Affan yang lari menuju ke kelas.
Semua perhatian teman kelas langsung teralihkan ke Affan yang tiba-tiba lari masuk kelas. Semuanya bertanya-tanya. “Ada apa, Fan? Di kejar-kejar setan?”
“Affan!!!”
Munculnya Vita dengan geram memanggil nama Affan sontak membuat seluruh kelas berkata “Cieeee…..” Vita pun bingung. Apa yang sudah terjadi. Belum terjawab  kebingungannya, guru untuk jam pelajaran ke-3 muncul di ambang pintu kelas. Mau nggak mau Vita duduk dengan Affan, karena tempat duduknya ditempati oleh Adit yang duduk dengan Sinta. Di belakang tempat duduknya dengan Affan.
Kenapa kamu terlihat begitu bahagia bersama Vita, Fan? Apa yang kamu sampaikan kemarin hanya sebatas sahabat saja? Sinta membatin melihat tawa antara Vita dan Affan didepannya.
Syukurlah kamu nggak sedih lagi, Sin. Makasih udah tersenyum kembali. Aku berharap kamu nggak akan menangis lagi. Gumam Affan pada dirinya sendiri ketika bercanda dengan Vita.
Makasih, Fan. Udah mengorbankan diri lu buat nyadarin gue. Kalo gue udah jahat sama cewek yang gue sayang. Gue janji nggak akan buat Sinta nangis lagi. Ucap Adit dalam hatinya, sambil tersenyum menatap Affan.
Kamu jahat, Fan. Kamu menyayangi Sinta, tapi kamu memperlakukan aku seolah kamu menyayangi aku. Bodohnya aku, aku menikmatinya. Vita tersenyum bahagia menggumamkan kalimat itu dalam hatinya.
***
Bel pulang sekolah pun berbunyi, tetapi tidak dengan Vita dan Affan yang memilih pulang agak sore
“Fan ada yang mau aku tanyain ke kamu.”
“Nanya apa Vit?”
“emh, gini Fan tapi jangan marah ya, kamu suka ya sama Sinta?”
“hah? koq nanya gitu, gak koq Vit. Emang kenapa?”
“oh, nggak nggak papa”
“kamu napa sih Vit? jutek gitu, marah?”
“marah kenapa? Aku kan tadi cuma nanya ke kamu aja Fan, soalnya dari kemaren-kemaren kamu selalu menghawatirkan Sinta.”
“yaa terus emang kenapa? Hak aku donk mau gimana. Kenapa kamu yang kaya gitu, Sinta juga biasa aja kan.”
“kaya gitu gimana aku juga biasa aja koq, kalo emang kamu gak suka ya tinggal bilang aja nggak usah mulai ribut kaya gini, bikin bad mood aja.”
Tiba-tiba tanpa disadari Adit mendengarkan percakapan mereka, dan mendengar suara tangisan Vita. Dan Adit pun masuk kelas yang beralasan ingin mengambil buku yang ketinggalan.
“eh.. koq kalian belum pulang? Betah banget disini, loh Vit kamu koq nangis?”
“aku gakpapa Dit.”
“lu ngapain kesini? sana pulang!” usir Affan kepada Adit.
“gu..gu..gue mau ngambil buku gue yang ketinggalan.”
Tiba-tiba Sinta pun masuk kelas karena Adit ditungguin lama
“Adit.. koq lama banget sih, ditungguin juga, koq ada Vita dan Affan? Vita kenapa nangis?”
“aku gakpapa Sin”
“gakpapa gimana Vit? siapa yang udah bikin kamu nangis?”
“gue, kenapa? nggak trima lu?” samber Affan
“hah? Affan?” tanya Sinta heran
“iya, Sin napa?”
“emang kamu ada masalah apa sih sama Vita, sampe ngebuat Vita jadi nangis?”
Affan pun menjelaskan masalahnya dengan Vita. Setelah mendengarkan penjelasan dari Affan, Sinta pun agak merasa marah dengan Vita dan Sintapun seakan-akan menjauhi Vita.
“Vit kenapa kamu nanya kaya gitu sih ke Affan?”
“kamu tuh sama kaya Affan ya Sin, aku cuma nanya aja ke Affan dan mastiin dia bener suka gak sama kamu!”
Adit yang mendengar penjelasan dari Vita pun langsung berkata “oohh jadi gitu Fan, lu nyuruh gue buat jangan bikin nangis cewe tapi pada akhirnya lu yang bikin nangis cewe juga, dasar pengecut lu Fan.”
“silahkan lu mau bilangin gue apa! terserah lu Dit gue bebasin”
“lu emang bener-bener ya Fan..!!” plaak Aditpun memukul Affan dan menyeretnya keluar dari kelas, kemudian menuju ke lapangan.
Sementara di kelas Sinta dan Vita tetap bermusuhan selepas kejadian itu.
***
Keesokan harinya, Affan tetap berangkat sekolah walaupun wajahnya babak belur gara-gara dipukul Adit. Dan pada pelajaran Ibu Rahma.
“kenapa muka kamu babak belur gitu? Siapa yang melakukannya?”
“bukan siapa-siapa bu, saya kemarin habis latihan tinju bu” jawab Affan dengan bohong.
“tidak mungkin, kamu ini pasti habis berantem. Siapa yang melakukannya jujur aja gakpapa”
Dalam hati Affan berkata maafin gue Dit, gue harus jujur sama Bu Rahma, sebenernya gue juga gak mau kalo gue harus jujur karena gue nggak mau kalo lu kena hukuman tapi mau gimana lagi Dit. Sekali lagi gue minta maaf ya Dit.
“eeee Adit bu. Adit yang melakukannya.”
Dan Bu Rahma pun memanggil Adit, kemudian Adit menjelaskan apa yang terjadi diantara dia dan Affan yang melibatkan Vita dan Sinta juga. Bu Rahma juga memanggil Vita dan Sinta.
“kenapa kalian koq kaya gini? Nggak biasanya kalian begini loh kalian kan biasanya akur. Pokoknya sekarang Ibu pengin kalian baikan lagi coba.”
“tapi bu....”jawab Sinta yang kemudian pembicaraannya dipotong Ibu Rahma.
“iya Ibu tau, masalah ini memang susah kalian selesaikan tapi Ibu minta kalian baikan dan tidak bertengkar, masa iya gara-gara masalah ini kalian tidak mau baikan.”
Mereka pun akhirnya mengikuti saran dari Ibu Rahma dan mereka berempatpun menjalin persahabatan lagi.




Nah itu guys cerpen yang aku buat, gak bagus & menarik kan?
Memang lah aku menyadari tapi aku akan mencoba membuat cerpen lagi yang lebih bagus dan menarik. Yaudah udah doeloe ya. Makasih buat yang udah baca.

Bye-Bye, See You in My Next Post *entahartinyaapa :D

No comments:

Post a Comment

Q
i
n
u
r
a
k
e
s