Halohaaaaa :D
Apa kabar nihh
Oya ngomong-ngomong hari ini tanggal merah
kan? Terus ada apa dengan tanggal merah hari ini? Itu artinya sekolah libur men
*yaiyalahorangtanggalmerah (abaikan) :p
Hari ini Hari Raya Imlek 2566 guys,
diantara kalian siapa yang ngerayain?
Nah yang ngerayain jangan lupa bagi dodol
ranjang nya ya, hahaha *becanda
Bytheway anyway busway, mau ngepost apa
yah? Ada yang punya ide gak? :D -------
*ahaaaaaa
#Cerita dikit
Jadi cerpen ini merupakan salah satu tugas
aku waktu aku baru masuk ke kelas XI Semester 1.
Aslinya sih Buguru meminta dengan tema
“Kewirausahaan” tapi barangkali pikiran murid-murid itu stress gara-gara
disuruh mengangkat tema “kewirausaan” jadi BuGuru ngasih tema BEBAS, asalkan
itu buatan sendiri, nggak ngadopsi dari berbagai sumber *anakkaliyadiadopsi.
Nah di cerpen aku, aku sebenarnya
mengangkat tema “persahabatan” tapi sedikit ada “percintaan”nya. Penasaran??
Yaudah langsung aja deh Cekidot…
SEUTAS IKATAN
MANIS
Kata
terindah yang pernah aku dengar selain cinta. Bukankah semua tahu, jika
persahabatan itu seindah cinta? Karena akan selalu ada cinta diantara
persahabatan. Sama halnya dengan persahabatan Sinta, Vita, Affan, dan Adit. Persahabatan
pada masa putih abu-abu yang terjalin karena adanya cinta diantara mereka.
Tidak bisa dipungkiri, persahabatan yang terjalin sejak mereka duduk di bangku
SMP membuat mereka selalu bersama, mengerti, memahami dan membantu satu sama
lain. Hingga seluruh sekolah pun tahu mengenai ikatan yang terjalin diantara
mereka berempat. Iya, ikatan manis yang dinamakan persahabatan.
Suatu
hari di SMA Perdamaian, mereka berempat sedang membaca di perpustakaan sekolah.
Di tengah-tengah asyiknya membaca buku, tiba-tiba terdengar bunyi “kruyuuuk....” yang mengalihkan perhatian mereka semua.
“Itu
bunyi perut kamu, Fan?” Tanya Sinta
“Hehehe.
Iya nih, perutnya nggak bisa diajak kompromi” jawab Affan
Mendengar
jawaban Affan, membuat tawa mereka pecah. Tersadar mereka sedang berada di
perpustakaan, segera mungkin mereka menutup mulut masing-masing. Tetap menahan
tawa.
“Ah,
bilang aja kamu laper. Yaudah kita ke kantin yuk?.”Ajak Vita cengar-cengir.
“Yuuuk.”
Jawab Sinta, Affan, Adit kompak, seraya bangkit dari kursi perpustakaan.
***
Mengikuti rentetan jadwal pelajaran yang benar-benar
melelahkan, membuat semua siswa SMA Perdamaian sontak bersorak-ria ketika bel
tanda berakhirnya pelajaran bergema ke segala sudut sekolah. Memberitahu pada
semua untuk bergegas segera meninggalkan kelas dan melanjutkan aktivitas lain
yang telah menunggu.
“Sin,
aku antar pulang ya? Adit kan tadi bilang mau nyari buku buat bahan tugas
kelompok bareng Vita.” Kata Affan ketika Sinta hendak beranjak dari bangkunya.
“Yakin?
Rumah aku jauh loh, lagian kita kan beda arah.” Tanya Sinta heran.
“Sekali-sekali
dong. Aku kan nggak pernah nganterin kamu pulang sejak kamu pindah rumah.”
Affan beralasan.
“Boleh
deh. Lumayan juga buat ngirit ongkos. Ayo, Fan” Balas Sinta tersenyum manis ke
Affan.
***
“Yap.
Sampe dengan selamat.” Ucap Affan menghentikan motornya tepat di depan rumah
Sinta.
“Makasih banyak ya, Fan. Sampai ketemu besok.”
Ucap Sinta melambaikan tangan setelah turun dari motor Affan.
“Aku
nggak boleh mampir nih? Oh gitu. Iya deh.”
“Oopss,
Aku kira kamu buru-buru.”balas Sinta dengan wajah menyesal. “Habisnya kamu tadi
bilang mau main basket jam 4. Kan sekarang udah jam setengah 4. Jadi, ya aku
kira…” ucap Sinta merasa bersalah.
“Kamu
kira aku mau langsung pergi?” jawab Affan dengan sedikit tertawa. “Udah, jangan
cemberut gitu, jelek tahu.” Goda Affan. “Aduh, tenggorokan aku kering nih.”
Affan tetap menggoda dengan memegang tenggorokan sambil menahan tawanya agar
tidak pecah.
“Oh
iya. Sebentar, sebentar aku ambilkan minum.” Sinta tiba-tiba panik menyadari
bahwa ia lupa menawarkan Affan minum setelah 40 menit perjalanan dalam rangka
mengantarnya pulang. “Eitss, tunggu. Kamu mau minum apa, Fan?” Sinta yang
hampir di ambang pintu berbalik menghampiri Affan kembali. Melihat tingkah
Sinta yang kebingungan membuat Affan tersenyum tipis dan turun, berdiri di
samping motornya. “Mau yang dingin atau nggak? Air putih, jus, sirup, es teh
atau……” kata-kata Sinta terhenti.
Setelah
beberapa menit, Sinta tersadar bahwa yang tiba-tiba meraih tangannya dan
langsung menariknya kedalam pelukannya adalah Affan. Sinta tak sepenuhnya sadar
apa saja yang telah terjadi beberapa menit lalu. Namun, Sinta samar mendengar
bisikan Affan yang mengatakan “Aku sayang
kamu, Sinta Restiana Riski.” tepat di telinga kanannya.
“A..
A.. Affan..” ucap Sinta kalut.
Affan
memandang wajah Sinta yang penuh kebingungan, tersenyum lalu berkata “Kamu
nggak salah dengar, Sin.” ucap Affan menjawab kebingungan diwajah Sinta.
Mendengar perkataan Affan, Sinta hanya memandang Affan dengan penuh tanda
tanya. “Masuklah, kamu pasti capek. Aku pulang dulu. Sampai bertemu besok di
sekolah.”
Kata-kata
dan senyum Affan berotasi begitu saja di kepala Sinta. Sinta terdiam memandang
kepergiaan Affan, hingga Affan menghilang dalam pandangannya Sinta masih
berdiri terdiam di depan rumahnya.
***
Keesokan
paginya di sekolah.
“Adit,
kemarin koq nggak ke rumah aku? Katanya mau ambil komik. Tadi juga kenapa nggak
bilang kalo kamu nggak bisa berangkat bareng aku? Aku kan nungguin” tanya Sinta
setelah melihat Adit ternyata sampai di sekolah lebih dulu. “Adit. Adit. Adit
Natharyan” teriak Sinta, geram karena tidak di tanggapi oleh Adit. “Adit kamu
kenapa sih? Kamu marah sama aku? Kenapa?” ucap Sinta ketika Adit menoleh,
memandang ke arahnya tetap tak berkata. Lalu Adit berdiri tepat di hadapan
Sinta, menatapnya lalu pergi meninggalkan kelas, melewati Sinta tanpa sepatah
kata terucap dari mulutnya.
Affan
yang melihat semua yang terjadi antara Sinta dan Adit, hanya berdiri diam di
pintu kelas. Menelisik apa yang sebenarnya sudah terjadi, sepertinya Affan tau
masalah yang sebenarnya. Tapi Sinta memandang ke arah Affan, memberitahu jika
ia tak mengerti apa yang terjadi pada Adit dengan raut wajah muram dan sedih.
“Fan,
Adit kenapa sih?” tanya Vita yang baru saja masuk ke kelas sehabis dari toilet,
Vita bingung melihat Adit terlihat sangat marah ketika keluar dari kelas. “Loh,
Sin? Kamu…”. “Fan, kamu? Kalian berdua kenapa sih?” Affan masih tetap berdiri
dan diam melihat Sinta terduduk lemas. Dan Vita masih bertaut dengan
kebingungan yang dimilikinya. “Sin, ada apa?” Vita menghampiri Sinta dan duduk
disebelahnya, meninggalkan Affan yang tetap berdiri di pintu kelas dalam diam.
Semua penghuni kelas bertanya-tanya, ini pertama kalinya mereka berempat
bertengkar. Sepertinya hal yang besar
telah terjadi, pikir mereka.
“Aku
nggak tau, Vit. Aku cuma tanya ke Adit, kenapa dia kemarin nggak ambil komik di
rumah aku? Kenapa hari ini dia juga nggak bilang kalo dia nggak bisa berangkat
bareng aku? Aku cuma tanya aja. Aku nggak tau kalo dia akan marah. Aku harus
gimana, Vit? Adit nggak mau bicara sama aku.” Tiba-tiba air mata Sinta menetes
sembari berkata.
“Udah,
Sin. Jangan sedih dong, cuma salah paham koq. Kemarin mungkin Adit capek, kan
kamu tau dia habis nyari buku sama aku. Terus tadi pagi dia berangkat bareng
aku. Aku kira dia udah bilang kamu. Maaf ya, Sin. Aku yang salah, nggak kasih
tau kamu.” Ucap Vita menenangkan.
Setelah
Sinta sedikit tenang karena penjelasan Vita, Vita menatap ke arah Affan yang
tetap ditempatnya tanpa bergerak sedikit pun, tersenyum sebagai tanda bahwa
Sinta baik-baik saja, karena Vita tau jika Affan mengkhawatirkan Sinta. Affan
mengangguk melihat senyum Vita, lalu berbalik keluar kelas menemui Adit. Mengapa hati aku begitu sakit melihat kamu
begitu mengkhawatirkan Sinta, Fan? Arrghh… Vita! Affan itu mengkhawatirkan
persahabatan kita. Please, nggak usah berpikir yang nggak-nggak. Vita
bersiteru dengan dirinya sendiri.
***
Affan
benar-benar terkejut, bingung dan tertegun melihat Sinta begitu sedih hingga
menangis karena Adit. Dia ingin sekali bertanya tapi dia tak kuasa. Dia nggak
mampu melihat cewek yang dia sayang menangis didepan matanya karena cowok lain,
terlebih lagi cowok itu sahabat terbaiknya.
Keluarnya
Affan dari kelas, membuat pikiran Affan semakin rumit. Affan hanya tau harus
bertemu dengan Adit. Adit harus menyelesaikan masalahnya dengan Sinta. Adit
harus membuat Sinta tersenyum lagi.
“Adit!!!”
belum sepenuhnya Adit menoleh ke arah Affan, Adit langsung terlempar jatuh ke
lantai karena pukulan Affan yang mendarat tepat di wajahnya.
Adit
yang terkejut mendapat pukulan dari Affan langsung menyulut emosinya hingga
berdiri menjatuhkan Affan ke lantai lalu memukuli Affan berkali-kali tanpa
perlawanan dari Affan. Semua siswa lain yang melihat ingin mencoba melerai
mereka, namun Affan memberikan kode kepada siswa lain untuk tidak melakukan
apapun. Mereka menurut dan hanya melihatnya saja tanpa ada yang melerai, tanpa
ada yang memanggil guru dan tanpa ada yang berteriak. Sepertinya mereka semua
mengerti maksud Affan.
Lelah
memukuli Affan, akhirnya Adit berhenti. “Sudah puas, Dit?” tanya Affan kepada
Adit. Setelah sadar keadaan telah tenang, semua siswa akhirnya bubar
meninggalkan mereka berdua.
“Lu
sadar? Apa yang udah lu lakuin ke Sinta? Gue tau, lu marah sama gue gara-gara
gue meluk Sinta kemarin kan?” mendengar kata-kata Affan, Adit terkejut dan
melepaskan tangannya yang masih mencengkram seragam Affan. Melihat reaksi Adit,
Affan tersenyum. “Gue bener kan? Gue tau karena gue liat lu di kompleks rumah
Sinta. Tapi lu nggak nyamperin dia meski gue udah pergi yang sebenarnya gue
juga nggak pergi. Gue ingin tau apa yang bakal lu lakuin. Tapi pada akhirnya lu
hanya memandang Sinta dari kejauhan.” Adit masih terdiam.
“Lu
sayang Sinta, Dit?” Adit menatap Affan karena pertanyaan yang Affan ajukan.
Lalu Affan tersenyum “Gue juga sayang Sinta, Dit. Gue yakin lu udah tau itu.
Tapi gue yakin lu nggak tau kalo yang Sinta sayang itu bukan gue.”
“Maksud
lu?” Adit menjawab dengan nada penasaran.
“Ah,
lu. Sok-sok-an pura-pura nggak tau.” Jawab Affan dengan candanya.
“Fan,
gue serius nih. Emang siapa sih yang Sinta sayang?.”
“Iya.
Iya. Gue tau lu serius koq. Nih, buktinya muka gue babak belur saking seriusnya
lu mukulin gue.” Ucap Affan dengan memelas.
“Yaelah,
abise lu. Ngapain coba mukul gue duluan.” Jawab Adit beralasan.
“Lu
kalo nggak kaya gini. Nggak akan bisa diajak bicara baik-baik kali.”
“Sialan
lu, hahaha” akhirnya emosi Adit mereda. “Eh, lu belum jawab pertanyaan gue,
Fan.”
“Pertanyaan
yang mana?” jawab Affan pura-pura nggak inget.
“Itu
loh. Tentang Sinta.”
“Sinta?
Tuh, dia di kelas nangisin lu. Lagi di tenangin sama Vita. Sana lu samperin.”
“Hah?
Sinta nangis? Gara-gara gue? Koq bisa?” Tanya Adit panik juga kaget.
“Lu
keterlaluan sih, cewek itu nggak bisa di kasarin dikit, Dit. Sana gih,
samperin.”
“Iya
deh. Gue ngaku salah. Maaf juga, Fan. Gue buat lu bonyok gitu.”
“Udah.
Cowok bonyok gini udah biasa koq. Sana ! Samperin Sinta. Kasihan dia tuh.”
“hehehe.
Okeh deh. Gue samperin Sinta ke kelas dulu ya, Fan.”
“Sip.
Jangan lu buat nangis lagi tuh dia. Awas lu.”
“Tenang.
Santai, men.” Adit pun pergi meninggalkan Affan yang duduk di bangku selasar
sekolah dengan penuh luka.
Affan
hanya menatap kosong kepergian Adit. Sinta
sayang lu, Dit. Bukan gue yang Sinta sayang, tapi lu. Gue mau ngeliat Sinta
bahagia, dan bahagianya Sinta bukan sama gue tapi lu. Affan hanya bergumam
dalam hati atas kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya.
“Affan.”
“Eh,
Vita. Aku kira siapa.” Sapaan Vita mengagetkan lamunan Affan. “Koq kamu disini?
Sinta udah benar-benar tenang?”
Kenapa harus Sinta lagi, Fan? Apa aku
nggak begitu penting buat kamu khawatirkan?
“Vit,
kamu kenapa? kamu habis nangis? Siapa yang udah bikin kamu nangis? Berani
banget bikin sahabat baik aku ini nangis. Biar aku hajar dia.” Ucap Affan geram
sembari mencoba menenangkan Vita.
“Nggak,
Fan. Aku cuma sedih aja.” ucap Vita menenangkan diri namun yang terjadi air
matanya semakin menetes. Kamu, Fan. Kamu
cowok yang ngebuat aku nangis begini.
“Masalah
tadi ya. Udah. Jangan dipikirkan lagi. Udah selesai koq. Senyum dong.” Ucap
Affan sembari mengusap air mata Vita.
“Kamu
terlihat berantakan banget, Fan.” Vita tersenyum mengatakan kalimat tadi. “Sini
biar aku obatin, aku ambil obat di UKS tadi.”
“Nggak
perlu koq. Cuma luka kecil, besok juga sembuh.”
“Udah.
Sini aku obatin. Jangan berisik deh.”
Tiba-tiba
Affan tersenyum “Makasih banyak ya, Vit.”
Vita
yang sedang mengobati luka diwajah Affan terdiam sesaat dan langsung berdiri.
“Nih, kamu lanjutin sendiri. Aku mau ke kelas dulu.”
“Loh
Vit, tanggung nih.”
“Bodo.”
Vita tetap meninggalkan Affan tanpa menoleh.
“Vit,
tunggu dong. Bareng napa?” sembari mengejar Vita yang berjalan begitu cepat.
“Kamu
kalo dipandang dari dekat cantiknya keliatan ya, Vit.” Canda Affan.
“Apa’an
sih, Fan? Aku lagi nggak ada uang receh nih.” Balas Vita.
“Serius
nih, aku sih cuma mau ngasih tau kamu aja, apa yang aku lihat. Kamu tuh cantik
tau.” Goda Affan yang langsung kabur setelah berhasil memukul kening Vita
dengan lembut.
“Affan!!!
Awas ya. Aku bales, kamu.” Vita pun langsung ikut lari mengejar Affan yang lari
menuju ke kelas.
Semua
perhatian teman kelas langsung teralihkan ke Affan yang tiba-tiba lari masuk
kelas. Semuanya bertanya-tanya. “Ada apa, Fan? Di kejar-kejar setan?”
“Affan!!!”
Munculnya
Vita dengan geram memanggil nama Affan sontak membuat seluruh kelas berkata
“Cieeee…..” Vita pun bingung. Apa yang sudah terjadi. Belum terjawab kebingungannya, guru untuk jam pelajaran ke-3
muncul di ambang pintu kelas. Mau nggak mau Vita duduk dengan Affan, karena
tempat duduknya ditempati oleh Adit yang duduk dengan Sinta. Di belakang tempat
duduknya dengan Affan.
Kenapa kamu terlihat begitu bahagia
bersama Vita, Fan? Apa yang kamu sampaikan kemarin hanya sebatas sahabat saja? Sinta membatin
melihat tawa antara Vita dan Affan didepannya.
Syukurlah kamu nggak sedih lagi, Sin.
Makasih udah tersenyum kembali. Aku berharap kamu nggak akan menangis lagi. Gumam Affan
pada dirinya sendiri ketika bercanda dengan Vita.
Makasih, Fan. Udah mengorbankan diri lu
buat nyadarin gue. Kalo gue udah jahat sama cewek yang gue sayang. Gue janji
nggak akan buat Sinta nangis lagi. Ucap Adit dalam hatinya, sambil
tersenyum menatap Affan.
Kamu jahat, Fan. Kamu menyayangi Sinta,
tapi kamu memperlakukan aku seolah kamu menyayangi aku. Bodohnya aku, aku
menikmatinya.
Vita tersenyum bahagia menggumamkan kalimat itu dalam hatinya.
***
Bel
pulang sekolah pun berbunyi, tetapi tidak dengan Vita dan Affan yang memilih
pulang agak sore
“Fan
ada yang mau aku tanyain ke kamu.”
“Nanya
apa Vit?”
“emh,
gini Fan tapi jangan marah ya, kamu suka ya sama Sinta?”
“hah?
koq nanya gitu, gak koq Vit. Emang kenapa?”
“oh,
nggak nggak papa”
“kamu
napa sih Vit? jutek gitu, marah?”
“marah
kenapa? Aku kan tadi cuma nanya ke kamu aja Fan, soalnya dari kemaren-kemaren
kamu selalu menghawatirkan Sinta.”
“yaa
terus emang kenapa? Hak aku donk mau gimana. Kenapa kamu yang kaya gitu, Sinta
juga biasa aja kan.”
“kaya
gitu gimana aku juga biasa aja koq, kalo emang kamu gak suka ya tinggal bilang
aja nggak usah mulai ribut kaya gini, bikin bad mood aja.”
Tiba-tiba
tanpa disadari Adit mendengarkan percakapan mereka, dan mendengar suara
tangisan Vita. Dan Adit pun masuk kelas yang beralasan ingin mengambil buku
yang ketinggalan.
“eh..
koq kalian belum pulang? Betah banget disini, loh Vit kamu koq nangis?”
“aku
gakpapa Dit.”
“lu
ngapain kesini? sana pulang!” usir Affan kepada Adit.
“gu..gu..gue
mau ngambil buku gue yang ketinggalan.”
Tiba-tiba
Sinta pun masuk kelas karena Adit ditungguin lama
“Adit..
koq lama banget sih, ditungguin juga, koq ada Vita dan Affan? Vita kenapa
nangis?”
“aku
gakpapa Sin”
“gakpapa
gimana Vit? siapa yang udah bikin kamu nangis?”
“gue,
kenapa? nggak trima lu?” samber Affan
“hah?
Affan?” tanya Sinta heran
“iya,
Sin napa?”
“emang
kamu ada masalah apa sih sama Vita, sampe ngebuat Vita jadi nangis?”
Affan
pun menjelaskan masalahnya dengan Vita. Setelah mendengarkan penjelasan dari
Affan, Sinta pun agak merasa marah dengan Vita dan Sintapun seakan-akan
menjauhi Vita.
“Vit
kenapa kamu nanya kaya gitu sih ke Affan?”
“kamu
tuh sama kaya Affan ya Sin, aku cuma nanya aja ke Affan dan mastiin dia bener
suka gak sama kamu!”
Adit
yang mendengar penjelasan dari Vita pun langsung berkata “oohh jadi gitu Fan,
lu nyuruh gue buat jangan bikin nangis cewe tapi pada akhirnya lu yang bikin
nangis cewe juga, dasar pengecut lu Fan.”
“silahkan
lu mau bilangin gue apa! terserah lu Dit gue bebasin”
“lu
emang bener-bener ya Fan..!!” plaak Aditpun
memukul Affan dan menyeretnya keluar dari kelas, kemudian menuju ke lapangan.
Sementara
di kelas Sinta dan Vita tetap bermusuhan selepas kejadian itu.
***
Keesokan
harinya, Affan tetap berangkat sekolah walaupun wajahnya babak belur gara-gara
dipukul Adit. Dan pada pelajaran Ibu Rahma.
“kenapa
muka kamu babak belur gitu? Siapa yang melakukannya?”
“bukan
siapa-siapa bu, saya kemarin habis latihan tinju bu” jawab Affan dengan bohong.
“tidak
mungkin, kamu ini pasti habis berantem. Siapa yang melakukannya jujur aja
gakpapa”
Dalam
hati Affan berkata maafin gue Dit, gue
harus jujur sama Bu Rahma, sebenernya gue juga gak mau kalo gue harus jujur
karena gue nggak mau kalo lu kena hukuman tapi mau gimana lagi Dit. Sekali lagi
gue minta maaf ya Dit.
“eeee
Adit bu. Adit yang melakukannya.”
Dan
Bu Rahma pun memanggil Adit, kemudian Adit menjelaskan apa yang terjadi
diantara dia dan Affan yang melibatkan Vita dan Sinta juga. Bu Rahma juga
memanggil Vita dan Sinta.
“kenapa
kalian koq kaya gini? Nggak biasanya kalian begini loh kalian kan biasanya
akur. Pokoknya sekarang Ibu pengin kalian baikan lagi coba.”
“tapi
bu....”jawab Sinta yang kemudian pembicaraannya dipotong Ibu Rahma.
“iya
Ibu tau, masalah ini memang susah kalian selesaikan tapi Ibu minta kalian
baikan dan tidak bertengkar, masa iya gara-gara masalah ini kalian tidak mau
baikan.”
Mereka
pun akhirnya mengikuti saran dari Ibu Rahma dan mereka berempatpun menjalin
persahabatan lagi.
Nah itu guys cerpen yang aku buat, gak bagus & menarik kan?
Memang lah aku menyadari tapi aku akan mencoba membuat cerpen lagi
yang lebih bagus dan menarik. Yaudah udah doeloe ya. Makasih buat yang udah
baca.
Bye-Bye, See You in My Next Post *entahartinyaapa :D
No comments:
Post a Comment